Subak atau Pariwisata, Mana yang Lebih Layak Untuk Dilestarikan?
2 sektor yang membuat masyarakat Bali dilema sebab subak juga bisa menjadi objek wisata yang merusak budaya itu sendiri. Bagaimana bisa?
Subak merupakan salah satu bagian warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali hingga UNESCO menobatkannya sebagai salah satu warisan dunia sejak tahun 2012. Budaya ini telah ada beratus-ratus tahun yang lalu serta telah menjadi konsep kehidupan dan tradisi bagi masyarakat Bali.
Jika mendengar kata subak, maka kita akan teringat pada pemandangan persawahan terasering di Bali. Itu tidak salah namun pengertian yang paling pas adalah organisasi pembagian air di areal persawahan secara tradisional yang bersifat sosioagraris, religius, dan ekonomis. Layaknya organisasi pada umumnya, di dalamnya juga terdapat pengurus dan anggota-anggota yang didominasi oleh petani khususnya petani padi.
Apakah sama dengan Kelompok Tani? Mirip seperti itu namun organisasi ini jauh lebih unik, bersifat otonom namun tidak mempunyai kaitan tanggung jawab pada lembaga tingkat desa atau kecamatan. Tidak hanya sekedar membagi-bagikan air pada musim tanam kepada petani anggota saja secara teratur namun terdapat nilai-nilai filosofis penuh makna yang menjadi landasan menjalankan organisasi ini yaitu Tri Hita Karana yang artinya Tiga Penyebab Terciptanya Kebahagiaan dan Kesejahteraan. Sebuah prinsip dalam sistem yang menekankan pada kepemilikan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, alam, dan sesamanya.
Dari segi antara harmonisasi antar sesama manusia, pengelolaan pertanian yang dilakukan secara bergotong royong mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi petani selama musim tanam. Para anggota akan menyelesaikannya dengan cara musyawarah dan memperlakukan anggota seadil-adilnya.
Akan ada perbedaan jumlah distribusi air melalui irigasi-irigasi air kepada anggota aktif dan pasif serta jatah urutan pembagiannya pun harus berdasarkan musyawarah bersama dengan landasan Tri Hita Karana. Sistem organisasi ini memiliki norma, hukum, dan sanksi yang berlaku yang patut ditaati oleh seluruh anggota agar terciptanya harmoni di dalam komunitas tersebut.
Masyarakat juga melakukan ritual pemujaan di pura khusus untuk memuja Dewi Sri supaya diberi kesuburan dan memohon rejeki yang melimpah pada kegiatan bertani. Mereka melaksanakan upacara dan ritual seperti upacara magpag toya untuk menjemput air secara ritual, salah satunya.
Subak sendiri adalah kearifan lokal yang kaya akan nilai filosofis dalam penerapannya. Namun, sangat disayangkan ketika keberadaan budaya ini semakin hari justru semakin tergerus oleh budaya-budaya lain yang masuk. Memang, untuk era serba digital dan pergerakan ekonomi yang begitu cepat terkadang membuat masyarakat ikut terbawa arus lalu memilih jalur hidup yang bisa mengamankan kondisi ekonomi mereka. Dan membuat budaya ini menjadi terancam. Kok bisa?
Banyak sekali kondisi yang mendorong masyarakat Bali tidak lagi ingin terjun ke sektor pertanian dan memilih bekerja di sektor pariwisata. Hasilnya lebih menjanjikan daripada harus berusaha tani di desa. Eksistensi persawahan kian terancam karena banyak sektor seperti FnB, perhotelan, dan properti berbondong-bondong merebut lahan pertanian.
Tak hanya persawahan yang kian berkurang luasnya, tidak adanya penerus dari generasi muda yang mau bertani. Tekanan ini masih terus terjadi sebab generasi muda saat ini juga ingin pendapatan yang pasti. Resiko berusaha tani itu sangat besar, apalagi isu-isu lingkungan dan perubahan cuaca secara global semakin membuat sulit manusia untuk membaca alam. Penderitaan paceklik panjang sampai gagal panen menjadi momok semua petani.
Belum lagi, fokus utama sistem organisasi ini adalah pembagian air secara adil ke lahan-lahan sawah petani anggota. Jika maraknya pembangunan sektor lain di sekitar lahan persawahan artinya persediaan air akan berkurang serta masalah pencemaran pun tidak bisa dihindari lagi.
Permasalahan semakin kompleks kala kita melihat jika Pariwisata merupakan sektor yang sangat berpengaruh di Bali. Namun, Bali juga mengkomoditaskan kebudayaannya ke dalam sektor ini yang mana subak yang harusnya bisa menjadi destinasi wisata yang mencerminkan keharmonisan kehidupan di Bali justru kiprahnya malah meredup, terancam hilang karena terabaikan oleh generasi mudanya sendiri.
Hal yang memang cukup dilema dihadapkan 2 sektor yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Bali. Sektor pertanian dipertahankan untuk menjaga kelestarian budaya leluhur sedangkan sektor pariwisata adalah lahan perekonomian yang menjanjikan. Lalu bagaimana untuk mengatasi hal ini?
Penting bahwa seluruh masyarakat sadar bahwa bumi tidak seharusnya mengalami eksploitasi terlalu berlebihan. Integrasi antara kedua sektor tersebut sangat diperlukan. Pernah membaca istilah eco-cultural tourism? Ini merupakan sebuah konsep yang menyinergikan ekologi dengan budaya dalam suatu wilayah.
Masyarakat wajib diberikan edukasi bahwa pembangunan di sekitaran situs bersejarah itu tidak selalu baik. Akan ada dampak buruk sebab konversi lahan serta pencemaran lingkungan. Hal ini akan memperburuk dari penerapan kegiatan bertani. Jika petani kehilangan lahan, maka tidak menutup kemungkinan kondisi ekonomi akan menurun dan kecenderungan melakukan alih profesi semakin besar.
Pengunjung situs bersejarah harus diberikan informasi bagaimana pentingnya kebudayaan leluhur ini pada peradaban masyarakat Bali dari dulu hingga saat ini supaya kebudayaannya tetap bisa lestari.
Kita tidak akan bisa memilih mana yang lebih penting sebab kedua sektor tersebut sangatlah penting. Subak jauh lebih kompleks karena meliputi kedua sektor tersebut. Oleh sebab itu, patut kita memperhatikan lebih jauh mengenai eksistensi budaya ini agar tidak hilang tergerus oleh hal-hal yang mengancam hingga saat ini.